Kata-kata
“sistem” dan “organisasi” tak pernah lekang dari kata “informasi”, terutama
ketika para peneliti teori sistem berhasil mengidentifikasi satu unsur penting
lainnya, yaitu “pengambilan keputusan” (decision making). Saat ini,
semua orang yang mempelajari organisasi dan manajemen sudah mahfum bahwa
sekumpulan manusia dapat bekerjasama dan mencapai sebuah tujuan jika ada
tata-kelola dalam soal pengambilan keputusan. Tanpa pengambilan keputusan,
sebuah organisasi kehilangan arah dan akhirnya bubar.
Menarik
untuk diketahui, kalau kita “mengambil keputusan” maka sebenarnya kita
melalukan proyeksi dan mengandaikan bahwa ada sesuatu yang akan terjadi.
Pengambilan keputusan selalu terjadi sebelum kita melakukan
aksi atau aktivitas tertentu. Dengan kata lain, pengambilan keputusan selalu
mendahului “kejadian” (events). Selain itu, kalau kita “mengambil
keputusan” dalam sebuah organisasi maka ada prasyarat kebersamaan di dalamnya.
Setiap keputusan yang diambil dalam sebuah organisasi biasanya berlaku untuk
semua orang. Memang, ada keputusan yang diambil oleh satu orang, ada keputusan
yang diambil oleh lebih dari satu orang, dan bahkan oleh jutaan orang sekaligus
(misalnya, keputusan untuk memilih SBY sebagai presiden). Siapa pun dan apa pun
keputusannya, orang lain diharapkan mengikuti keputusan itu.
Lebih
menarik lagi untuk diketahui, sebagai sebuah proyeksi yang mengandung dugaan
tentang sesuatu yang akan terjadi, maka setiap keputusan memerlukan
“bahan mentah” atau “masukan” berupa informasi.
Setiap
pengambil keputusan memerlukan gambaran tentang apa saja yangsudah terjadi untuk
membayangkan apa yang akan terjadi setelah keputusan diambil.
Dalam
kehidupan berorganisasi, setiap pengambilan keputusan berdasarkan pada keadaan
yang terjadi di dalam (internal) maupun di luar (eksternal) organisasi. Itu
sebabnya, pengambilan keputusan langsung berkaitan dengan pengelolaan
informasi. Setiap organisasi selalu melakukan pengambilan keputusan, dan selalu
mengelola informasi untuk membantu pengambilan keputusan. Organisasi besar
(misalnya sebuah negara) maupun organisasi mini (misalnya sebuah warung di
pinggir jalan) memerlukan pengambilan keputusan dan pengelolaan informasi.
Persoalan
pengelolaan informasi untuk pengambilan keputusan di sebuah organisasi inilah
yang jadi objek kajian kita. Salah satu teori yang dapat kita pakai untuk
penelitian tentang objek kajian ini datang dari O’Reilly (1982, 1983). Secara
khusus, O’Reilly mengajak kita memeriksa kemampuan manusia mengelola informasi
(human information processing capacity) dalam konteks kehidupan
berorganisasi.
Ia
mengaitkan kemampuan ini dengan perilaku informasi dan komunikasi, jenis
informasi yang digunakan, dan peran informasi tersebut dalam pengambilan
keputusan. Dalam asumsi dasarnya, O’Reilly melihat pengambilan keputusan
sebagai salah satu wujud dari aplikasi informasi. Artinya, dalam keadaan
aslinya “informasi” adalah sesuatu yang hanya berupa potensi. Kalau sebuah
organisasi ingin mewujudkan potensi ini, salah satu caranya adalah dengan
mengubah informasi menjadi keputusan.
Dalam
pembahasannya, O’Reilly juga mempersoalkan “relevansi” informasi yang akan
dijadikan masukan bagi pengambilan keputusan. Maksudnya, setiap pengambilan
keputusan didahului oleh sebuah upaya mencari dan menemukan informasi yang
relevan.
Itu
sebabnya, pengambilan keputusan langsung berkaitan dengan perilaku informasi (information
behavior). Ketika kita meletakkan semua ini dalam konteks kehidupan
organisasi, maka terlihatlah kompleksitas yang amat menarik untuk dikaji.
Salah
satu aspek yang menjadi pusat perhatian O’Reilly adalah kaitan antara perilaku
informasi dan hubungan kekuasaan (power relations) di dalam sebuah
organisasi. Menurut teorinya, informasi yang akan dipakai sebagai bahan
pengambilan keputusan dipengaruhi oleh hal-hal berikut:
1.
Kekuasaan si pemberi informasi (atau si sumber informasi) atas si pengambil
keputusan. Semakin berkuasa pihak yang memberi informasi, semakin mungkin
informasi itu digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Ini kedengarannya
lumrah banget. Informasi dari big boss sudah pasti
diprioritaskan oleh semua bawahan yang berwenang mengambil keputusan. Kalau si
pengambil keputusan itu sendiri adalah seorang big boss, mungkin
dia akan mencari orang tertentu yang dianggapnya lebih berkuasa, walau orang
ini berada di luar organisasi. Banyak big boss yang punya
“dukun” untuk membantunya mengambil keputusan
2.
Relevansi informasi terhadap tugas yang harus dilakukan seorang pengambil
keputusan. Ini juga lumrah. Seorang pengambil keputusan akan mendahulukan
informasi yang relevan untuk tugas-tugasnya terlebih dahulu, baru
mempertimbangkan informasi yang relevan untuk tugas orang lain.
3.
Kaitan antara informasi dengan sistem insentif dan dis-insentif. Secara
bercanda, kita bisa mengatakan bahwa informasi yang menguntungkan kedudukan
seseorang pasti lebih diprioritaskan, apalagi kalau informasi itu tidak menguntungkan
bagi saingan di kantor .
4.
Kontribusi informasi terhadap tindakan yang akan menimbulkan imbalan positif.
Berkaitan dengan butir 3 di atas, setiap pengambil keputusan akan mendahulukan
informasi yang menurutnya akan menghasilkan reaksi positif dari rekan-rekan
sesama kantor, apalagi kalau hasilnya menimbulkan pujian kepada si pengambil
keputusan.
5.
Kontribusi informasi bagi keuntungan pribadi. Masih berkaitan dengan butir 3
dan 4, setiap orang di semua lapisan organisasi pasti memikirkan keuntungan
pribadi, dan jika ada informasi yang nantinya akan menguntungkan secara
pribadi, maka informasi itulah yang jadi prioritas untuk dijadikan landasan
pengambilan keputusan.
6.
Kaitan antara informasi dengan potensi konflik. Berkaitan dengan butir 4,
semakin sedikit konflik yang ditimbulkan oleh sebuah informasi, semakin mungkin
informasi itu digunakan dalam pengambilan keputusan. Pada dasarnya O’Reilly
beranggapan bahwa anggota-anggota sebuah organisasi cenderung menghindari
konflik.
7.
Kemudahan penggunaan informasi, dilihat dari segi kepampatan (compact)
dan kejelasan. Tentu saja, semakin mudah sebuah informasi dicerna, semakin
mungkin informasi itu dipilih untuk mengambil keputusan.
8.
Hubungan antara pemberi informasi dan pengguna informasi, khususnya jika
informasi ini bersifat lisan. Dalam situasi yang sesungguhnya, menurut O’Reilly
banyak sekali pengambilan keputusan yang dilakukan berdasarkan informasi lisan
dari orang-orang yang dianggap “dekat”.
9.
Keterpercayaan. Berkaitan dengan butir 8, seorang pengambil keputusan akan cenderung
menggunakan informasi dari “sumber-sumber yang dapat dipercaya”. Seringkali,
pertimbangan ini bersifat subjektif, walau juga dipengaruhi oleh pengalaman dan
situasi hubungan inter-personal di dalam sebuah organisasi.
0 komentar:
Posting Komentar