Diposting oleh
Maya Indah
komentar (0)
I.
PENGERTIAN
& SEKELUMIT TENTANG HAM
H
|
ak
asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu
dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat
kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat
hidup sebagai manusia. Hak
ini dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia manusia, bukan karena
pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak
tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain. Hak
asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.
Sebagai
manusia, ia makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi. Hak asasi
manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat
universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat
diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri
dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul
atau berhubungan dengan sesama manusia.
Pada setiap
hak melekat kewajiban. Karena itu,selain ada hak asasi manusia, ada juga
kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi
terlaksana atau tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi
Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi
yang juga dimiliki oleh orang lain.
Kesadaran
akan hak asasi manusia , harga diri , harkat dan martabat kemanusiaannya,
diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak
kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak
kodrati yang melekat pada diri manusia. Sejarah mencatat berbagai peristiwa
besar di dunia ini sebagai suatu usaha untuk menegakkan hak asasi manusia.
II.
HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada
pancasila. Yang artinya Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah
bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa
pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus memperhatikan garis-garis yang
telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia,
melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan dengan
sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang
terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini
disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara
multak tanpa memperhatikan hak orang lain.
Setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam
melaksanakan hak, kita tidak memperhatikan hak orang lain,maka yang terjadi
adalah benturan hak atau kepentingan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan
tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan
demi peningkatan martabat kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan
kecerdasan serta keadilan.
Berbagai
instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik Indonesia,yakni:
·
Undang – Undang Dasar 1945
·
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia
·
Undang – Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia
Di
Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat
dibeda-bedakan menjadi sebagai berikut :
Ø Hak –
hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan
pendapat, kebebasan memeluk agama, dan kebebasan bergerak.
Ø Hak –
hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki sesuatu,
hak untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
Ø Hak –
hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk
mendirikan partai politik.
Ø Hak
asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (
rights of legal equality).
Ø Hak –
hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights). Misalnya hak
untuk memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan kebudayaan.
Ø Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan
dan perlindungan (procedural rights). Misalnya peraturan dalam
hal penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan peradilan.
Secara konkret untuk pertama kali Hak Asasi Manusia dituangkan
dalam Piagam Hak Asasi Manusia sebagai lampiran Ketetapan Permusyawarahan
Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998.
III.
PERKEMBANGAN HAM DI INDONESIA
Berbeda dengan di Inggris dan Perancis yang mengawali
sejarah perkembangan dan perjuangan hak asasi manusianya dengan menampilkan
sosok pertentangan kepentingan antara kaum bangsawan dan rajanya yang lebih
banyak mewakili kepentingan lapisan atas atau golongan tertentu saja.
Perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia mencerminkan bentuk pertentangan
kepentingan yang lebih besar, dapat dikatakan terjadi sejak masuk dan
bercokolnya bangsa asing di Indonesia dalam jangka waktu yang lama. Sehingga
timbul berbagai perlawanan dari rakyat untuk mengusir penjajah.
Dengan
demikian sifat perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia itu tidak
bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu
golongan tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan bangsa Indonesia
secara utuh. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum bangsa Indonesia mengalami
masa penjajahan bangsa asing, tidak pernah mengalami gejolak berupa timbulnya
penindasan manusia atas manusia. Pertentangan kepentingan manusia dengan segala
atributnya (sebagai raja, penguasa, bangsawan, pembesar dan seterusnya) akan
selalu ada dan timbul tenggelam sejalan dengan perkembangan peradaban manusia.
Hanya saja di bumi Nusantara warna pertentangan-pertentangan yang ada tidak
begitu menonjol dalam panggung sejarah, bahkan sebaliknya dalam catatan sejarah
yang ada berupa kejayaan bangsa Indonesia ketika berhasil dipersatukan di bawah
panji-panji kebesaran Sriwijaya pada abad VII hingga pertengahan abad IX, dan
kerajaan Majapahit sekitar abad XII hingga permulaan abad XVI.
Hingga
kemudian diskursus tentang HAM memasuki babakan baru, pada saat Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas
menyiapkan rancangan UUD pada tahun 1945, dalam pembahasan-pembahasan tentang
sebuah konstitusi bagi negara yang akan segera merdeka, silang selisih tentang
perumusan HAM sesungguhnya telah muncul. Di sana terjadi perbedaan antara
Soekarno dan Soepomo di satu pihak dan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin di
pihak lain. Pihak yang pertama menolak dimasukkannya HAM terutama yang
individual ke dalam UUD karena menurut mereka Indonesia harus dibangun sebagai
negara kekeluargaan. Sedangkan pihak kedua menghendaki agar UUD itu memuat
masalah-masalah HAM secara eksplisit.
Sehari
setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, Panitya Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD 1945 sebagai
UUD negara Republik Indonesia. Dengan demikian terwujudlah perangkat hukum yang
di dalamnya memuat hak-hak dasar/asasi manusia Indonesia serta
kewajiban-kewajiban yang bersifat dasar/asasi pula. Seperti yang tertuang dalam
Pembukaan, pernyataan mengenai hak-hak asasi manusia tidak mendahulukan hak-hak
asasi individu, melainkan pengakuan atas hak yang bersifat umum, yaitu hak
bangsa. Hal ini seirama dengan latar belakang perjuangan hak-hak asasi manusia
Indonesia, yang bersifat kebangsaan dan bukan bersifat individu.
Sedangkan
istilah atau perkataan hak asasi manusia itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai
dalam UUD 1945 baik dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya.
Istilah yang dapat ditemukan adalah pencantuman dengan tegas perkataan hak dan
kewajiban warga negara, dan hak-hak Dewan Perwakilan Rakyat. Baru setelah UUD
1945 mengalami perubahan atau amandemen kedua, istilah hak asasi manusia
dicantumkan secara tegas.
Dalam
sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah mengalami perubahan konstitusi dari UUD
1945 menjadi konstitusi RIS (1949), yang di dalamnya memuat ketentuan hak-hak
asasi manusia yang tercantum dalam Pasal 7 sampai dengan 33. Sedangkan setelah
konstitusi RIS berubah menjadi UUDS (1950), ketentuan mengenai hak-hak asasi
manusia dimuat dalam Pasal 7 sampai dengan 34. Kedua konstitusi yang disebut
terakhir dirancang oleh Soepomo yang muatan hak asasinya banyak mencontoh
Piagam Hak Asasi yang dihasilkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu The
Universal Declaration of human Rights tahun 1948 yang berisikan 30
Pasal.
Dengan
Dekrit Presiden RI tanggal 5 juli 1959, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku lagi
dan UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku. Hal ini berarti ketentuan-ketentuan
yang mengatur hak-hak asasi manusia Indonesia yang berlaku adalah sebagaimana
yang tercantum dalam UUD 1945. Pemahaman atas hak-hak asasi manusia antara
tahun 1959 hingga tahun 1965 menjadi amat terbatas karena pelaksanaan UUD 1945
dikaitkan dengan paham NASAKOM yang membuang paham yang berbau Barat. Dalam
masa Orde Lama ini banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila
dan UUD 1945 yang suasananya diliputi penuh pertentangan antara golongan
politik dan puncaknya terjadi pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965. Hal ini
mendorong lahirnya Orde Baru tahun 1966 sebagai koreksi terhadap Orde Lama.
Dalam awal masa Orde baru pernah diusahakan untuk menelaah kembali masalah HAM,
yang melahirkan sebuah rancangan Ketetapan MPRS, yaitu berupa rancangan
Pimpinan MPRS RI No. A3/I/Ad Hoc B/MPRS/1966, yang
terdiri dari Mukadimah dan 31 Pasal tentang HAM. Namun rancangan ini tidak
berhasil disepakati menjadi suatu ketetapan.
Kemudian di dalam pidato
kenegaraan Presiden RI pada pertengahan bulan Agustus 1990, dinyatakan bahwa
rujukan Indonesia mengenai HAM adalah sila kedua Pancasila “Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab” dalam kesatuan dengan sila-sila Pancasila lainnya. Secara historis pernyataan Presiden mengenai HAM tersebut
amat penting, karena sejak saat itu secara ideologis, politis dan konseptual
HAM dipahami sebagai suatu implementasi dari sila-sila Pancasila yang merupakan
dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Meskipun demikian, secara
Ideologis, politis dan konseptual, sila kedua tersebut agak diabaikan sebagai
sila yang mengatur HAM, karena konsep HAM dianggap berasal dari paham
individualisme dan liberalisme yang secara ideologis tidak diterima.
Perkembangan
selanjutnya adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS
HAM) berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993.
Pembentukan KOMNAS HAM tersebut pada saat bangsa Indonesia sedang giat
melaksanakan pembangunan, menunjukkan keterkaitan yang erat antara penegakkan
HAM di satu pihak dan penegakkan hukum di pihak lainnya. Hal ini senada dengan
deklarasi PBB tahun 1986, yang menyatakan HAM merupakan tujuan sekaligus sarana
pembangunan. Keikutsertaan rakyat dalam pembangunan bukan sekedar aspirasi,
melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri. Dan menjadi
tugas badan-badan pembangunan internasional dan nasional untuk menempatkan HAM
sebagai fokus pembangunan.
Guna
lebih memantapkan perhatian atas perkembangan HAM di Indonesia, oleh berbagai
kalangan masyarakat (organisasi maupun lembaga), telah diusulkan agar dapat
diterbitkannya suatu Ketetapan MPR yang memuat piagam hak-hak asasi Manusia
atau Ketetapan MPR tentang GBHN yang didalamnya memuat operasionalisasi
daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia Indonesia yang ada dalam
UUD 1945.
Akhirnya
ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat secara adanya HAM itu dapat diwujudkan
dalam masa Orde Reformasi, yaitu selama Sidang Istimewa MPR yangberlangsung
dari tanggal 10 sampai dengan 13 November 1988. Dalam rapat paripurna ke-4
tanggal 13 November 1988, telah diputuskan lahirnya Ketetapan MPR RI No.
XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian Ketetapan MPR tersebut
menjadi salah satu acuan dasar bagi lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 23 september 1999.
Undang-Undang
ini kemudian diikuti lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1999 yang
kemudian disempurnakan dan ditetapkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Sebagai
bagian dari HAM, sebelumnya telah pula lahir UU No. 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang disahkan dan diundangkan di
Jakarta pada tanggal 26 oktober 1998, serta dimuat dalam LNRI Tahun 1999 No.
165.
Di
samping itu, Indonesia telah merativikasi pula beberapa konvensi internasional
yang mengatur HAM, antara lain :
a.
Deklarasi
tentang Perlindungan dan Penyiksaan, melalui UU No. 5 Tahun 1998.
b.
Konvensi
mengenai Hak Politik Wanita 1979, melalui UU No. 68 Tahun 1958.
c.
Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap wanita, melalui UU No. 7 Tahun
1984.
d.
Konvensi
Perlindungan Hak-Hak Anak, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.
e.
Konvensi
tentang Ketenagakerjaan, melalui UU No. 25 Tahun 1997, yang pelaksanaannya
ditangguhkan sementara.
f.
Konvensi
tentang Penghapusan Bentuk Diskriminasi Ras Tahun 1999, melalui UU No. 29 Tahun
1999.
IV.
PELANGGARAN
HAM DAN UPAYA PENYELESAIANNYA
KASUS
TRISAKTI & SEMANGGI
Kasus
Trisakti dan Semanggi, terkait dengan gerakan reformasi. Arah gerakan reformasi
adalah untuk melakukan perubahan yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Gerakan reformasi dipicu oleh krisis ekonomi tahun 1997. Krisis
ekonomi terjadi berkepanjangan karena fondasi ekonomi yang lemah dan
pengelolaan pemerintahan yang tidak bersih dari KKN (Korupsi Kolusi dan
Nepotisme). Gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa menuntut perubahan dari
pemerintahan yang otoriter menjadi pemerintahan yang demokratis,
mensejahterakan rakyat dan bebas dari KKN.
Demonstrasi
merupakan senjata mahasiswa untuk menekan tuntutan perubahan ketika dialog
mengalami jalan buntuk atau tidak efektif. Ketika demonstrasi inilah berbagai
hal yang tidak dinginkan dapat terjadi. Karena sebagai gerakan massa tidak
mudah melakukan kontrol. Bentrok fi sik dengan aparat kemanan, pengrusakan,
penembakan dengan peluru karet maupun tajam inilah yang mewarai kasus Trisakti
dan Semanggi. Kasus Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 yang menewaskan 4 (empat)
mahasiswa Universitas Trisakti yang terkena peluru tajam. Tragedi Semanggi I
terjadi 13 November 1998 yang menewaskan setidaknya 5 (lima) mahasiswa,
sedangkan tragedi Semanggi II pada 24 September 1999, menewaskan 5 (lima)
orang.
Dengan
jatuhnya korban pada kasus Trisakti, emosi masyarakat meledak. Selama dua hari
berikutnya 13 – 14 Mei terjadilah kerusuhan dengan membumi hanguskan sebagaian
Ibu Kota Jakarta. Kemudian berkembang meluas menjadi penjarahan dan aksi SARA
(suku, agama, ras, dan antar golongan). Akibat kerusuhan tersebut, Komnas HAM
mencatat :
1) 40 pusat perbelanjaan terbakar;
2) 2.479 toko hancur;
3) 1.604 toko dijarah;
4) 119 mobil hangus dan ringsek;
5) 1.026 rumah penduduk luluh lantak;
6) 383 kantor rusak berat; dan
7) 1.188 orang meninggal dunia. (GATRA, 9 Januari 1999).
Dengan korban
yang sangat besar dan mengenaskan di atas, itulah harga yang harus dibayar
bangsa kita ketika menginginkan perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara
yang lebih baik. Seharusnya hal itu masih dapat dihindari apabila semua anak
bangsa ini berpegang teguh pada nilai – nilai luhur Pancasila sebagai acuan
dalam memecahkan berbagai persoalan dan mengelola negara tercinta ini.
Peristiwa Mei tahun 1998 dicatat disatu sisi sebagai Tahun Reformasi dan pada
sisi lain sebagai Tragedi Nasional.
UPAYA PENYELESAIAN KASUS DIATAS
Ketiga kasus diatas telah terjadi sekitar 14
tahun yang lalu, dan kasus TriSakti juga telah di limpahkan ke Pengadilan
Militer. Segala upaya dilakukan pemerintah untuk mengusut apa yang terjadi,
siapa yang melakukan bahkan siapa dalang dibalik terjadinya tragedy tersebut.
Lembaga pemerhati HAM juga selalu mendesak agar keadilan dapat ditegakkan.
Bahkan setiap tanggal 12 Mei tiap tahunnya selalu menjadi momen untuk
memperingati apa yang terjadi pada tanggal itu di tahun 1998, sekaligus
mendesak agar kasus ini terus diusut hingga tuntas.
Semakin tahun berlalu & semakin tua umur
kasus ini, seakan kasus ini semakin tidak jelas kelanjutan pengusutannya.
Namun, pemerintah dan seluruh pelakon penegakan HAM tak henti untuk
mengupayakan terselesaikan nya kasus ini sebagai perwujudan penegakan HAM di
Indonesia.
*** SEKIAN
***
Label:
tugas